BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apabila
kita membicarakan etika, moral maupun akhlak, berarti
kita akan menelaah siapa yang menjadi patokan atau landasan atau contoh sebagai
suri tauladan yang baik bagi semua orang yang ada di bumi ini. Tentunya, Tuhan Yang
Maha Esa (Allah SWT)., menciptakan manusia ada tuntutan dan tuntunan sehingga
adanya relevansi antara keduanya. Sedangkan yang dimaksud adalah salah seorang
utusan yang kredibel dan kapabel serta memiliki perbedaan baik dari fisik
lahiriah maupun bathiniah, dari makhluk-makhluk lainnya, yakni Nabi dan
Rasul-Nya. Nabi dan Rasul adalah salah seorang refresentasi Tuhan Yang Maha Esa
(Allah SWT)., untuk membawa nilai-nilai kebenaran yang hakiki (ketauhidan) yang
di implementasikan dalam bentuk nilai-nilai kesosialan dan ‘ubudiyah.
Rasulullah SAW., merupakan contoh
yang paling tinggi di tengah-tengah para sahabatnya dalam hal budi pekerti yang
beliau perintahkan. Beliau menyemaikan budi pekerti yang sangat tinggi dalam
diri para sahabatnya dengan tindakannya, sebelum menanamkannya dengan perkataan
yang penuh dengan hikmah dan nasehatnya.[1]
Akhlak mulia adalah salah satu sifat
para Nabi dan orang-orang shaleh. Dan dengannya pula manusia menjadi lebih
tinggi derajat serta kedudukannya. Allah SWT., telah mensifati Nabi dan
Rasul-Nya dengan satu ayat yang menghimpun semua kebaikan akhlak dan budi pekerti. Sebagaimana
Allah SWT., berfirman :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Artinya :
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Qs. Al-Qalam:
4).
Akhlak yang mulia menimbulkan kecintaan
dan kasih sayang. Sedangkan prilaku yang buruk mengakibatkan kebencian dan
kedengkian. Budi pekerti yang mulia memberikan pengaruh yang sangat jelas
sekali bagi orang yang menjalankannya dalam kehidupannya di dunia maupun di
akhirat.[2]
Sejarah Agama menunjukkan bahwa
kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syari’ah agama itu hanya
dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang
baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan,
ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya
merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah
merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan
pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menentukan corak hidup
manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan
atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah
jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak,
sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah
menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran
manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri
sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal
dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa
melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada yang
baik dan buruk ataupun atau patut atau tidak patut, karena hanya manusialah
yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subyek menginsafi
bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah
pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya
dia bisa dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya itu. Btannya an manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia m
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini secara garis besar rumusan
masalahnya adalah :
a. Apakah pengertian etika, moral dan akhlak?
b. Bagaimankah konsep etika dan akhlak dalam
perspektif Islam?
c. Apa Perbedaan antara etika, moral dan akhlak?

LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
1.
Pengertian Etika
Kata
“Etika” dalam bahasa Indonesia, diambil dari bahasa Yunani “Ethos” yang maknanya adalah watak
kesusilaan atau adat.[3] Dalam kamus bahasa Indonesia, bahwa etika dapat
diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz moral. Dari pengertian kebahasaan
ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku
manusia.
Selain di atas, ada juga defenisi lain tentang etika berdasarkan istilah menurut dari beberapa ahli, diantaranya:
-
Menurut
Profesor Robert Salomon dalam Abu Bakar, etika dapat dikelompokan menjadi dua
definisi: “Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang
yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang
beretika. Etika merupakan hukum sosial. Etika merupakan hukum yang mengatur, mengendalikan serta
membatasi perilaku manusia”.[4]
-
Menurut para
ulama’dalam Abu Bakar, etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[5]
Jadi dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa etika berhubungan dengan empat
hal sebagai berikut: Pertama, dilihat
dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan
oleh manusia. Kedua, dilihat dari
segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil
pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal.
Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan,
kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu
yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi,
ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga,
dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Dan Keempat,
dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan zaman.
2.
Pengertian Moral
Secara kebahasaan perkataan
moral berasal dari ungkapan bahasa latin “Mores”
yang merupakan bentuk jamak dari perkataan “Mos”
yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa
moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Sedangkan
moral berdasarkan kamus ilmiah popular bahwa morala adalah kesusilaan, atau
budi pekerti.[6]
Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu
perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik,
buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah
dipahami juga sebagai:
1.
Prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2.
Kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.
3.
Ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.
Moral ialah tingkah laku
yang telah ditentukan oleh etika. Tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika
sama ada baik atau buruk dinamakan moral. Moral terbagi menjadi dua yaitu :
a.
Baik: segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik
b.
Buruk: tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.
Moral juga diartikan sebagai
ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan
sebagainya. Dalam moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu
dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari.
Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik
dan perbuatan yang salah.
Dengan demikian moral
merupakan kendali dalam bertingkah laku. Moral dapat diukur secara subyektif
dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif,
adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. Apabila hati nurani ingin
membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral.
Kemoralan merupakan sesuatu yang berkait dengan peraturan-peraturan masyarakat
yang diwujudkan di luar kawalan individu.
Dorothy Emmet(1979)
mengatakan bahwa manusia bergantung kepada tatasusila, adat, kebiasaan
masyarakat dan agama untuk membantu menilai tingkahlaku seseorang. Moral
berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan
dengan etiket atau sopan santun. Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu
atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas
dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan
dari beberapa sumber. Standar moral ialah standar yang berkaitan dengan
persoalan yang dianggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran
yang baik bukan otoritas kekuasaan, melebihi kepentingan sendiri, tidak memihak
dan pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah, malu, menyesal, dan
lain-lain.[7]
3.
Pengertian Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk
mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan
terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa
arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi
majid af'ala, yuf'ilu, if'alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), at- thobi'ah (kelakuan,
tabiat, watak dasar), al-adat
(kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah
(peradaban yang baik) dan al-din
(agama). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa
sebagai mana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata
akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka
timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim
jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata,
melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Selain di atas, ada juga defenisi lain tentang akhlaq berdasarkan istilah menurut dari beberapa ahli, diantaranya:
-
Menurut Imam
Al-Ghazali yang dikutip oleh Tatapangarsa bahwa akhlak ialah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang dari sifat-sifat itu timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).[8]
-
Menurut Ibnu
Miskawaih dalam Tatapangarsa definisi akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan
pikiran (lebih dulu).[9]
-
Sedangkan
Prof. Dr. Ahmad Amin mendefinisikan, bahwa yang disebut akhlak adalah “Adatul Iradah” atau kehendak yang
dibiasakan.[10]
Artinya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang,
sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang diulang sehingga mudah dikerjakan.
Jika apa nama kehendak itu dikerjakan berulang kali sehingga menjadi kebiasaan,
maka itulah yang kemudian berproses menjadi akhlaq.
-
Senada dengan
pendapat diatas, Dr. Abdullah Dirroz dalam bukunya yang berjudul Kalimatun Fi Mabadi-il Akhlaq yang
dikutip oleh Humaidi mengemukakan bahwa akhlak adalah suatu kekuatan dalam
kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa
kecendrungan pada pemilihan yang benar (dalam hal akhlaq baik) atau pihak yang
jahat (dalam hal akhlaq buruk).[11]
-
Menurut
Ya’kub, kata akhlak erat sekali hubungannya dengan kata khaliq yang berarti pencipta dan kata makhluk berarti yang diciptakan.
Perumusan pengertian akhlaq timbul sebagai media yang memungkinkan adanya
hubungan baik antara khaliq dan makhluk begitupun sebaliknya.[12]
-
Menurut Akmal
Hawi bahwa akhlak adalah suatu perangai atau tingkah laku manusia dalam
pergaulan sehari-hari. Perbuatan-perbuatan tersebut timbul dengan mudah tanpa
direncanakan terlebih dahulu karena sudah menjadi kebiasaan. Apabila dari
perangai tersebut timbul perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal
sehat dan syariat, maka ia disebut dengan akhlaq yang baik, sebaliknya, apabila
yang timbul dari perangai itu perbuatan-perbuatan yang buruk maka ia disebut
sebagai akhlaq yang buruk.[13]
Dari beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku yang timbul berdasarkan dari
dalam manusia tanpa disadari dan direncanakan terlebih dahulu (reflek) sehingga
mendorong seseorang untuk berbuat baik maupun buruk sesuai dengan akal sehat.
Apabila dalam tingkah lakunya itu menjurus kepada ajaran yang dituntun melalui
hukum agama (Syar’i) niscaya akan lurus begitupun sebaliknya.
B.
Konsep Etika dan Akhlaq
berdasarkan perspektif Islam
1.
Etika Menurut Ajaran Islam
Istilah etika dalam ajaran Islam tidak sama
dengan apa yang diartikan oleh para ilmuwan barat. Apabila etika barat sifatnya
“antroposentrik” (berkisar sekitar manusia), maka etika Islam bersifat
“teosentrik” (berkisar pada Tuhan). Dalam etika Islam suatu perbuatan selalu
dihubungkan dengan amal saleh atau dosa, dengan pahala atau siksa, dengan surga
atau neraka.[14]
Dipandang dari segi ajaran yang mendasari etika
Islam tergolong etika teologis. Menurut Dr. H. Hamzah Ya’qub pengertian etika
teologis ialah yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia,
didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah
yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk.[15]
Karakter khusus etika Islam sebagian besar
bergantung kepada konsepnya mengenai manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
dengan dirinya sendiri, dengan alam dan masyarakat.[16]
Adapun butir-butir etika Islam menurut Musnamar
yang dapat diidentifikasikan, antara lain sebagai berikut:
1.
Tuhan merupakan sumber hukum dan sumber moral.
Kedua hal tersebut disampaikan berupa wahyu melalui para Nabi dan para Rasul,
dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab suci Allah.
2.
Sesuatu perbuatan adalah baik apabila sesuai
dengan perintah Allah, serta didasari atas niat baik.
3.
Kebaikan adalah keindahan akhlak, sedangkan
tanda-tanda dosa adalah perasaan tidak enak, serta merasa tidak senang apabila
perbuatannya diketahui orang banyak.
4.
Prikemanusiaan hendaknya berlaku bagi siapa
saja, dimana saja, dan kapan saja, bahkan dalam perang sekalipun.
5.
Anak wajib berbakti kepada orang tuanya.[17]
2.
Akhlak Menurut Ajaran Islam
Akhlak merupakan cermin
daripada umat Islam yang tentu saja mempunyai dasar. Dan dasar inilah yang
harus dihayati dan diamalkan agar tercipta akhlak yang mulia.
Menurut M. Ali Hasan dalam
bukunya Tuntunan Akhlak mengemukakan
bahwa yang menjadi dasar sifat seseorang itu baik atau buruk adalah al-Qur’an
dan Sunnah.[18]
Maksudnya apa yang baik menurut al-Qur’an dan Sunnah, itulah yang baik untuk di
kerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk menurut
al-Qur’an dan Sunnah, berarti itu tidak baik dan harus dijauhi.
Dari pendapat yang diatas,
bahwa yang menjadi dasar pokok akhlak dalam Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagai dasar akhlak al-Qur’an menjelaskan kriteria baik buruknya suatu
perbuatan dan mengatur pola hidup manusia secara keseluruhan. Dengan al-Qur’an
sebagai sumber akhlak bagi kaum muslimin yang taat tidak akan keluar dari
rel-rel yang telah ditentukan olehnya.
Adapun Sunnah menjadi dasar
akhlak yang kedua setelah al-Qur’an dalam pembentukan akhlak manusia. Firman
Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21 menyatakan:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya : “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).
Dilihat dari segi
sasarannya, akhlak terbagi atas tiga macam yaitu akhlak kepada Allah SWT,
akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada lingkungan hidup.
Akhlak kepada Allah SWT.,
maksudnya ialah berbuat baik kepada-Nya. Menurut Jalaluddin dan Usman Said,
bahwa akhlak manusia terhadap Allah SWT., antara lain sebagai berikut:
a.
Mengabdi kepada Allah SWT dan tidak
mempersekutukan-Nya
b.
Tunduk dan patuh hanya kepada Allah SWT
c.
Berserah diri kepada ketentuan Allah SWT
d.
Bersyukur hanya kepada Allah SWT
e.
Ikhlas menerima keputusan Allah SWT
f.
Penuh harap kepada Allah SWT
g.
Takut kehilangan rasa patuh kepada Allah SWT
h.
Takut akan sikssa Allah SWT
i.
Takut akan kehilangan rahmat Allah SWT
j.
Mohon pertolongan kepada Allah SWT
k.
Cinta dan penuh harap kepada Allah SWT[19]
Selanjutnya mengenai akhlak
kepada manusia. Akhlak mempunyai peranan yang menentukan dalam kehidupan dan
pergaulan manusia sehari-hari. Orang yang berakhlak mulia disetiap tempat mudah
diterima orang, disenangi oleh lingkungannya, mudah dipercaya oleh setiap orang
yang berhubungan dengannya. Oleh karenanya menjadi lapanglah rizkinya dan
menjadi mudah segala urusannya. Kehadirannya menentramkan lingkungan dan
kepergiannya ditangisi.
Secara garis besar, akhlak
terhadap manusia meliputi sikap yang baik, seperti:
a.
Menghormati dan menghargai perasaan kemanusiaan
b.
Memenuhi janji dan pandai berterima kasih
c.
Saling menghargai
d.
Menghargai status manusia sebagai makhluk Allah
SWT yang paling mulia.
Selanjutnya dikemukakan
tentang akhlak terhadap lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan lingkungan hidup
di sini adalah lingkungan yang berada di sekitar manusia hidup. Manusia yang
dijadikan Allah SWT sebagai khalifah-Nya di bumi telah dibebani tanggung jawab
untuk memelihara kelestarian alam. Dalam kaitannya dengan tugas memelihara
kelestarian alam, Islam menganjurkan setiap muslim untuk menunjukkan sikap yang
serasi kepada alam lingkungannya. Diantara sikap yang dianjurkan adalah:
1.
Memperlakukan binatang dengan baik, meliputi:
a.
Menghindari diri dari menyiksa binatang
b.
Member makanan dan minuman bagi binatang yang
memerlukannya, terutama binatang ternak
c.
Dan binatang yang dijadikan binatang sembelihan
agar disembelih dengan cara yang baik, dan lain-lain.
2.
Menjaga dan memelihara kelestarian alam,
meliputi:
a.
Menjaga kebersihan lingkungan
b.
Tidak menebang pohon-pohon atau tanaman yang
bermanfaat
c.
Mengusahakan penghijauan dengan cara menanam
pohon yang bermanfaat
d.
Dan menjaga sumber air dari pengotoran dan
polusi, dan lain sebagainya.[20]
Dengan demikian akhlak yang
baik tidak hanya diperuntukkan kepada Allah SWT atau kepada manusia saja,
melainkan juga terhadap sesama makhluk Allah SWT yang diciptakan di alam ini.
Dengan demikian tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan atau setidaknya
mempunyai dampak negative, baik bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan
dinilai sebagai perbuatan tercela.
C.
Perbedaan Etika, Moral dan Akhlaq
Perbedaan antara akhlak
dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran
baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat
atau kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap
suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian
standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak
bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari
apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan
dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata
sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya
:
“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (Hadits
riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan
bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at
yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong
pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak
merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan
berdasarkan aqidah.

KESIMPULAN
Etika menurut filasafat
dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran. moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu
perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik,
buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut.
Akhlak adalah hal yang
terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian
tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam
hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Ketiga hal tersebut
(etika, moral dan akhlak) merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan
akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling baik budi pekertinya
adalah Rasulullah S.A.W. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang
mulia menyatakan:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah
manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Dan diharapkan, dengan
diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat menerapkan
etika, moral dan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W , setidaknya kita termasuk
kedalam golongan kaumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar,
Abu, Mengenal Etika dan Akhlak Islam, Lentera,
Jakarta, 2003.
Hasan, Mas’ ud A. Q. dkk., Kamus Ilmiah Populer, CV. Bintang Pelajar, Yogyakarta.
Hasan, M. Ali, Tuntunan Akhlak,
Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Hawi,
Akmal, Kompetensi Guru PAI, IAIN
Raden Fatah Press, Palembang, 2005.
http://grms.multiply.com/journal/item/26
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.
Malik, Al-Akhlaq Fiil Islami, terj. Kantor
Dakwah Untuk Orang Asing (KDUOA), Saudi
Arabiah, 2004.
Musnamar, Tohari, dkk., Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam Di
Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.
Nuqaib, Syed
Nawab Haidur, Etika dan Ilmu Ekonomi,
Mizan, Bandung, 1993.
Tatapangarsa, Humaidi, Pengantar
Kuliah Akhlaq, Bina Ilmu, Surabaya, 1994.
Ya’kub, Etika Islam, Cv.
Diponegoro, Bandung, 1985.
Zubair, A. Charris, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1987.
[1]
Malik, Al-Akhlaq Fiil Islami, terj.
Kantor Dakwah Untuk Orang Asing (KDUOA),
(Saudi Arabiah: 2004), hal. 11.
[2] Malik, Ibid., hal.3-4.
[3] A. Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers,
1987), hal. 13.
[7] http://grms.multiply.com/journal/item/26
[14] Tohari,
Musnamar, dkk., Etika Pembangunan Dalam
Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 88.
[15] Ya’kub, Loc.Cit., hlm. 96.
[19]
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 61-62.
[20]
Jalaluddin dan Usman Said, Ibid.,
hlm. 84-86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar