Sabtu, 10 November 2012

KONSEP AKHLAQ, MORAL DAN PERBEDAANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
            Apabila kita membicarakan etika, moral maupun akhlak, berarti kita akan menelaah siapa yang menjadi patokan atau landasan atau contoh sebagai suri tauladan yang baik bagi semua orang yang ada di bumi ini. Tentunya, Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT)., menciptakan manusia ada tuntutan dan tuntunan sehingga adanya relevansi antara keduanya. Sedangkan yang dimaksud adalah salah seorang utusan yang kredibel dan kapabel serta memiliki perbedaan baik dari fisik lahiriah maupun bathiniah, dari makhluk-makhluk lainnya, yakni Nabi dan Rasul-Nya. Nabi dan Rasul adalah salah seorang refresentasi Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT)., untuk membawa nilai-nilai kebenaran yang hakiki (ketauhidan) yang di implementasikan dalam bentuk nilai-nilai kesosialan dan ‘ubudiyah.
Rasulullah SAW., merupakan contoh yang paling tinggi di tengah-tengah para sahabatnya dalam hal budi pekerti yang beliau perintahkan. Beliau menyemaikan budi pekerti yang sangat tinggi dalam diri para sahabatnya dengan tindakannya, sebelum menanamkannya dengan perkataan yang penuh dengan hikmah dan nasehatnya.[1]
Akhlak mulia adalah salah satu sifat para Nabi dan orang-orang shaleh. Dan dengannya pula manusia menjadi lebih tinggi derajat serta kedudukannya. Allah SWT., telah mensifati Nabi dan Rasul-Nya dengan satu ayat yang menghimpun semua kebaikan akhlak dan budi pekerti. Sebagaimana Allah SWT., berfirman :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ        
Artinya : “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Qs. Al-Qalam: 4).

            Akhlak yang mulia menimbulkan kecintaan dan kasih sayang. Sedangkan prilaku yang buruk mengakibatkan kebencian dan kedengkian. Budi pekerti yang mulia memberikan pengaruh yang sangat jelas sekali bagi orang yang menjalankannya dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat.[2]
Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syari’ah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada yang baik dan buruk ataupun atau patut atau tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subyek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya itu.  Btannya an manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia m
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini secara garis besar rumusan masalahnya adalah :
a. Apakah pengertian etika, moral dan akhlak?
b. Bagaimankah konsep etika dan akhlak dalam perspektif Islam?
c. Apa Perbedaan antara etika, moral dan akhlak?
















BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
1.        Pengertian Etika
     Kata “Etika” dalam bahasa Indonesia, diambil dari bahasa Yunani “Ethos” yang maknanya adalah watak kesusilaan atau adat.[3] Dalam kamus bahasa Indonesia, bahwa etika dapat diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz moral. Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.          
Selain di atas, ada juga defenisi lain tentang etika berdasarkan istilah menurut dari beberapa ahli, diantaranya:
-  Menurut Profesor Robert Salomon dalam Abu Bakar, etika dapat dikelompokan menjadi dua definisi: “Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang beretika. Etika merupakan hukum sosial. Etika merupakan hukum yang mengatur, mengendalikan serta membatasi perilaku manusia”.[4]
-  Menurut para ulama’dalam Abu Bakar, etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[5]
Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut: Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Dan Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. 
            

2.        Pengertian Moral
Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin “Mores” yang merupakan bentuk jamak dari perkataan “Mos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Sedangkan moral berdasarkan kamus ilmiah popular bahwa morala adalah kesusilaan, atau budi pekerti.[6] Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai:
1.   Prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2.   Kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.
3.   Ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.
Moral ialah tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika. Tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika sama ada baik atau buruk dinamakan moral. Moral terbagi menjadi dua yaitu :
a.    Baik: segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik
b.   Buruk: tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.
Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah.
Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Kemoralan merupakan sesuatu yang berkait dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu.
Dorothy Emmet(1979) mengatakan bahwa manusia bergantung kepada tatasusila, adat, kebiasaan masyarakat dan agama untuk membantu menilai tingkahlaku seseorang. Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Standar moral ialah standar yang berkaitan dengan persoalan yang dianggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas kekuasaan, melebihi kepentingan sendiri, tidak memihak dan pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah, malu, menyesal, dan lain-lain.[7]

3.        Pengertian Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu, if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at- thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Selain di atas, ada juga defenisi lain tentang akhlaq berdasarkan istilah menurut dari beberapa ahli, diantaranya:
-   Menurut Imam Al-Ghazali yang dikutip oleh Tatapangarsa bahwa akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari sifat-sifat itu timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).[8]
-   Menurut Ibnu Miskawaih dalam Tatapangarsa definisi akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu).[9]
-   Sedangkan Prof. Dr. Ahmad Amin mendefinisikan, bahwa yang disebut akhlak adalah “Adatul Iradah” atau kehendak yang dibiasakan.[10] Artinya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang, sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang diulang sehingga mudah dikerjakan. Jika apa nama kehendak itu dikerjakan berulang kali sehingga menjadi kebiasaan, maka itulah yang kemudian berproses menjadi akhlaq.
-   Senada dengan pendapat diatas, Dr. Abdullah Dirroz dalam bukunya yang berjudul Kalimatun Fi Mabadi-il Akhlaq yang dikutip oleh Humaidi mengemukakan bahwa akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecendrungan pada pemilihan yang benar (dalam hal akhlaq baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlaq buruk).[11]    
-   Menurut Ya’kub, kata akhlak erat sekali hubungannya dengan kata khaliq yang berarti pencipta dan kata makhluk berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlaq timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dan makhluk begitupun sebaliknya.[12]
-   Menurut Akmal Hawi bahwa akhlak adalah suatu perangai atau tingkah laku manusia dalam pergaulan sehari-hari. Perbuatan-perbuatan tersebut timbul dengan mudah tanpa direncanakan terlebih dahulu karena sudah menjadi kebiasaan. Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal sehat dan syariat, maka ia disebut dengan akhlaq yang baik, sebaliknya, apabila yang timbul dari perangai itu perbuatan-perbuatan yang buruk maka ia disebut sebagai akhlaq yang buruk.[13]   
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku yang timbul berdasarkan dari dalam manusia tanpa disadari dan direncanakan terlebih dahulu (reflek) sehingga mendorong seseorang untuk berbuat baik maupun buruk sesuai dengan akal sehat. Apabila dalam tingkah lakunya itu menjurus kepada ajaran yang dituntun melalui hukum agama (Syar’i) niscaya akan lurus begitupun sebaliknya.    

B.       Konsep Etika dan Akhlaq berdasarkan perspektif Islam
1.        Etika Menurut Ajaran Islam
Istilah etika dalam ajaran Islam tidak sama dengan apa yang diartikan oleh para ilmuwan barat. Apabila etika barat sifatnya “antroposentrik” (berkisar sekitar manusia), maka etika Islam bersifat “teosentrik” (berkisar pada Tuhan). Dalam etika Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal saleh atau dosa, dengan pahala atau siksa, dengan surga atau neraka.[14]
Dipandang dari segi ajaran yang mendasari etika Islam tergolong etika teologis. Menurut Dr. H. Hamzah Ya’qub pengertian etika teologis ialah yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk.[15]
Karakter khusus etika Islam sebagian besar bergantung kepada konsepnya mengenai manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan alam dan masyarakat.[16] 
Adapun butir-butir etika Islam menurut Musnamar yang dapat diidentifikasikan, antara lain sebagai berikut:
1.      Tuhan merupakan sumber hukum dan sumber moral. Kedua hal tersebut disampaikan berupa wahyu melalui para Nabi dan para Rasul, dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab suci Allah.
2.      Sesuatu perbuatan adalah baik apabila sesuai dengan perintah Allah, serta didasari atas niat baik.
3.      Kebaikan adalah keindahan akhlak, sedangkan tanda-tanda dosa adalah perasaan tidak enak, serta merasa tidak senang apabila perbuatannya diketahui orang banyak.
4.      Prikemanusiaan hendaknya berlaku bagi siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, bahkan dalam perang sekalipun.
5.      Anak wajib berbakti kepada orang tuanya.[17] 
              
2.        Akhlak Menurut Ajaran Islam
Akhlak merupakan cermin daripada umat Islam yang tentu saja mempunyai dasar. Dan dasar inilah yang harus dihayati dan diamalkan agar tercipta akhlak yang mulia.
Menurut M. Ali Hasan dalam bukunya Tuntunan Akhlak mengemukakan bahwa yang menjadi dasar sifat seseorang itu baik atau buruk adalah al-Qur’an dan Sunnah.[18] Maksudnya apa yang baik menurut al-Qur’an dan Sunnah, itulah yang baik untuk di kerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk menurut al-Qur’an dan Sunnah, berarti itu tidak baik dan harus dijauhi.
Dari pendapat yang diatas, bahwa yang menjadi dasar pokok akhlak dalam Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai dasar akhlak al-Qur’an menjelaskan kriteria baik buruknya suatu perbuatan dan mengatur pola hidup manusia secara keseluruhan. Dengan al-Qur’an sebagai sumber akhlak bagi kaum muslimin yang taat tidak akan keluar dari rel-rel yang telah ditentukan olehnya.
Adapun Sunnah menjadi dasar akhlak yang kedua setelah al-Qur’an dalam pembentukan akhlak manusia. Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21 menyatakan:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ           
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).
Dilihat dari segi sasarannya, akhlak terbagi atas tiga macam yaitu akhlak kepada Allah SWT, akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada lingkungan hidup.
Akhlak kepada Allah SWT., maksudnya ialah berbuat baik kepada-Nya. Menurut Jalaluddin dan Usman Said, bahwa akhlak manusia terhadap Allah SWT., antara lain sebagai berikut:
a.       Mengabdi kepada Allah SWT dan tidak mempersekutukan-Nya
b.      Tunduk dan patuh hanya kepada Allah SWT
c.       Berserah diri kepada ketentuan Allah SWT
d.      Bersyukur hanya kepada Allah SWT
e.       Ikhlas menerima keputusan Allah SWT
f.       Penuh harap kepada Allah SWT
g.      Takut kehilangan rasa patuh kepada Allah SWT
h.      Takut akan sikssa Allah SWT
i.        Takut akan kehilangan rahmat Allah SWT
j.        Mohon pertolongan kepada Allah SWT
k.      Cinta dan penuh harap kepada Allah SWT[19]
  
Selanjutnya mengenai akhlak kepada manusia. Akhlak mempunyai peranan yang menentukan dalam kehidupan dan pergaulan manusia sehari-hari. Orang yang berakhlak mulia disetiap tempat mudah diterima orang, disenangi oleh lingkungannya, mudah dipercaya oleh setiap orang yang berhubungan dengannya. Oleh karenanya menjadi lapanglah rizkinya dan menjadi mudah segala urusannya. Kehadirannya menentramkan lingkungan dan kepergiannya ditangisi.
Secara garis besar, akhlak terhadap manusia meliputi sikap yang baik, seperti:
a.       Menghormati dan menghargai perasaan kemanusiaan
b.      Memenuhi janji dan pandai berterima kasih
c.       Saling menghargai
d.      Menghargai status manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia.
Selanjutnya dikemukakan tentang akhlak terhadap lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan lingkungan hidup di sini adalah lingkungan yang berada di sekitar manusia hidup. Manusia yang dijadikan Allah SWT sebagai khalifah-Nya di bumi telah dibebani tanggung jawab untuk memelihara kelestarian alam. Dalam kaitannya dengan tugas memelihara kelestarian alam, Islam menganjurkan setiap muslim untuk menunjukkan sikap yang serasi kepada alam lingkungannya. Diantara sikap yang dianjurkan adalah:


1.      Memperlakukan binatang dengan baik, meliputi:
a.       Menghindari diri dari menyiksa binatang
b.      Member makanan dan minuman bagi binatang yang memerlukannya, terutama binatang ternak
c.       Dan binatang yang dijadikan binatang sembelihan agar disembelih dengan cara yang baik, dan lain-lain.
2.      Menjaga dan memelihara kelestarian alam, meliputi:
a.       Menjaga kebersihan lingkungan
b.      Tidak menebang pohon-pohon atau tanaman yang bermanfaat
c.       Mengusahakan penghijauan dengan cara menanam pohon yang bermanfaat
d.      Dan menjaga sumber air dari pengotoran dan polusi,  dan lain sebagainya.[20]
Dengan demikian akhlak yang baik tidak hanya diperuntukkan kepada Allah SWT atau kepada manusia saja, melainkan juga terhadap sesama makhluk Allah SWT yang diciptakan di alam ini. Dengan demikian tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan atau setidaknya mempunyai dampak negative, baik bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan dinilai sebagai perbuatan tercela.


C.      Perbedaan Etika, Moral dan Akhlaq
Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (Hadits riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.

















BAB III
KESIMPULAN
Etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut.
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Ketiga hal tersebut (etika, moral dan akhlak) merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling baik budi pekertinya adalah Rasulullah S.A.W. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Dan diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat menerapkan etika, moral dan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W , setidaknya kita termasuk kedalam golongan kaumnya.







DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Abu, Mengenal Etika dan Akhlak Islam, Lentera, Jakarta, 2003.
Hasan, Mas’ ud A. Q. dkk., Kamus Ilmiah Populer, CV. Bintang Pelajar, Yogyakarta.
Hasan, M. Ali, Tuntunan Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Hawi, Akmal, Kompetensi Guru PAI, IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2005.
http://grms.multiply.com/journal/item/26
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.
Malik, Al-Akhlaq Fiil Islami, terj. Kantor Dakwah Untuk Orang Asing  (KDUOA), Saudi Arabiah, 2004.
Musnamar, Tohari, dkk., Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam Di Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.
Nuqaib, Syed Nawab Haidur, Etika dan Ilmu Ekonomi, Mizan, Bandung, 1993.

Tatapangarsa, Humaidi, Pengantar Kuliah Akhlaq, Bina Ilmu, Surabaya, 1994.
Ya’kub, Etika Islam, Cv. Diponegoro, Bandung, 1985.
Zubair, A. Charris, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1987.





 




[1] Malik, Al-Akhlaq Fiil Islami, terj. Kantor Dakwah Untuk Orang Asing  (KDUOA), (Saudi Arabiah: 2004), hal. 11. 
[2] Malik, Ibid., hal.3-4.
[3] A. Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hal. 13.
[4] Abu Bakar. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. (Jakarta: Lentera, 2003).
[5] Abu Bakar, Ibid,.
[6] Mas’ ud Hasan A. Q. dkk., Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: CV. Bintang Pelajar), hlm. 158.  
[7] http://grms.multiply.com/journal/item/26
[8] Humaidi, Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlaq, (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), hal. 14.  
[9] Ibid.
[10] Humaidi, Ibid., hlm. 15.
[11] Ibid.
[12] Ya’kub, Etika Islam, (Bandung: Cv. Diponegoro, 1985), hlm. 11.
[13] Akmal Hawi, Kompetensi Guru PAI, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005), hlm. 127.
[14] Tohari, Musnamar, dkk., Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 88.  
[15] Ya’kub, Loc.Cit., hlm. 96.
[16] Syed Nawab Haidur, Nuqaib., Etika dan Ilmu Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 89.
[17] Tohari, Musnamar, dkk., Loc.cit., hlm. 89-93.
[18] M. Ali Hasan., Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 11.
[19] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 61-62.  
[20] Jalaluddin dan Usman Said, Ibid., hlm. 84-86.